Laporan setebal 400 halaman yang ditugaskan oleh kementerian dalam negeri menyimpulkan bahwa setidaknya sepertiga Muslim di Jerman mengalami permusuhan karena agama mereka.
Muslim di Jerman sering menghadapi diskriminasi, kebencian, dan terkadang kekerasan yang merajalela dalam kehidupan sehari-hari mereka, menurut sebuah laporan baru yang ditugaskan oleh kementerian dalam negeri di Berlin.
Kelompok Ahli Independen tentang Permusuhan Muslim (UEM) menganalisis studi ilmiah, statistik kejahatan polisi, dan dokumentasi insiden anti-Muslim oleh lembaga antidiskriminasi, pusat konseling, dan organisasi non-pemerintah.
Laporan komprehensif setebal 400 halaman yang diterbitkan oleh panel independen beranggotakan 12 orang itu membutuhkan waktu tiga tahun untuk diselesaikan. Temuan itu disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri pada Kamis.
Setidaknya sepertiga Muslim di Jerman mengalami permusuhan karena agama mereka, kata UEM. Namun, para ahli mengklaim bahwa jumlah sebenarnya cenderung lebih tinggi karena hanya 10 persen Muslim yang melaporkan permusuhan dan kejahatan rasial terhadap mereka.
“Kehidupan Muslim adalah milik Jerman sebagai hal yang biasa,” kata Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser dalam sebuah pernyataan.
“Banyak dari 5,5 juta Muslim di Jerman mengalami pengucilan dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari – termasuk kebencian dan kekerasan,” katanya setelah menerima laporan tersebut. “Sangat penting untuk membuatnya terlihat dan untuk meningkatkan kesadaran akan kebencian yang masih meluas,” tambahnya.
Muslim Jerman tidak hanya terpapar rasisme tapi juga stereotip sehari-hari dari taman kanak-kanak hingga usia tua, kata para ahli.
Bahkan Muslim kelahiran Jerman secara luas dipandang sebagai “asing” dan Islam dianggap sebagai “agama terbelakang”; perempuan yang mengenakan jilbab tradisional menghadapi “bentuk permusuhan yang sangat dramatis,” kata laporan itu.
Dalam analisis budaya populer, laporan tersebut menemukan bahwa hampir 90 persen film yang ditonton panel menampilkan pandangan negatif terhadap Muslim, seringkali mengaitkannya dengan “serangan teroris, perang, dan penindasan terhadap perempuan.”
Mantan menteri dalam negeri Horst Seehofer meluncurkan komisi itu pada 2020 setelah seorang sayap kanan Jerman membunuh 10 orang dan melukai lima lainnya dalam aksi penembakan anti-Muslim di pusat kota Hanau.
Serangan itu mengejutkan negara itu dan mendorong kelompok hak asasi manusia untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap sentimen Islamofobia di Jerman.
‘Diskriminasi Struktural’
Saba-Nur Cheema, salah satu dari 12 ahli di panel itu, mengatakan laporan itu juga mengungkapkan rincian tentang prasangka terhadap Muslim yang disebutnya “anonim dan halus”.
“(Menurut laporan) hampir separuh penduduk di Jerman percaya bahwa Islam bukan milik Jerman… atau sepertiga penduduk merasa asing (di Jerman)…. karena Muslim yang tinggal di sini,” katanya kepada Al Jazeera.
Selain itu, Cheema mengatakan laporan tersebut menemukan bahwa sekitar 40 persen orang di negara itu tidak akan menerima walikota Muslim. Pakar mengatakan sikap seperti itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat Islam di Tanah Air. “Ini adalah sesuatu yang kami sebut diskriminasi struktural – di mana Muslim dikecualikan dari pekerjaan atau ketika mereka sedang mencari tempat tinggal.”
Komisi tersebut merekomendasikan agar pemerintah membentuk gugus tugas untuk mengatasi prasangka terhadap Muslim dan clearinghouse pusat untuk mengumpulkan pengaduan.
Selain itu, pelatihan diperlukan di pusat penitipan anak dan sekolah, kantor polisi, kantor pemerintah, perusahaan media dan hiburan untuk memerangi citra negatif umat Islam sementara buku pelajaran dan rencana pelajaran perlu direvisi.
Komunitas Muslim Jerman beragam dengan mayoritas mengaku berasal dari Turki. Lainnya awalnya berimigrasi dari negara-negara Arab seperti Maroko atau Lebanon. Banyak yang pertama kali datang ke Jerman Barat lebih dari 60 tahun yang lalu ketika mereka direkrut sebagai “pekerja tamu” untuk membantu kemajuan ekonomi negara.